Sanksi Tegas Diperlukan, Fraud dan Perawatan Berlebih di Rumah Sakit Bagai Fenomena Gunung Es
3 min read
Praktisi medis dari Yayasan Orangtua Peduli dr. Windhi Krenaswati (kiri) memaparkan dampak fraud pada seminar yang digelar media Investotrust di Makassar, Rabu (11/9/2024). (Foto: Majesty/Arya)
Majesty.co.id, Makassar – Kasus fraud atau penipuan dalam layanan kesehatan di Indonesia disebut bagai gunung es yang belum banyak terungkap. Begitu juga dengan overtreatment atau perawatan berlebihan.
Hal itu disampaikan pengamat layanan kesehatan, S. Budisuharto, dalam seminar bertajuk “Upaya Publik Tekan Overtreatment dan Fraud di Layanan Medis”. Dialog ini digelar media Investortrust di Makassar, Rabu (11/9/2024).
Budisuharto menyebut bahwa, overtreatment salah satunya disebabkan oleh faktor insentif keuangan rumah sakit. Seperti, rendahnya okupansi sehingga memaksa fasiltas medis mengakali pemasukan.
“Overtreatment ini juga terjadi disebabkan tidak adanya standar pelayanan medis yang jelas. Faktor lainnya rendahnya edukasi terhadap pasien tentang perawatan yang sesuai,” kata Budisuharto yang berbicara secara daring.
Menurut Budisuharto, overtreatment bisa merugikan pihak asuransi maupun jaminan kesehatan nasional seperti BPJS. Bahkan pasien mandiri bisa menjadi korban akibat praktik ini.
“Untuk itu, dibutuhkan sanksi yang tegas kepada pelaku overtreatment. Bukan hanya pengembalian jumlah kerugian, tapi harus ada sanksi pidana,” jelas Budisuharto.
Fraud Pasien Demi Biaya Asuransi
Penipuan atau fraud dalam layanan medis juga kerap dipicu karena minimnya pengawasan terhadap rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menambahkan, praktik fraud maupun overtreatment adalah “kelakuan” sejak dulu yang dilakukan oleh pihak rumah sakit maupun pasien.
Agus memberi contoh modus fraud di rumah sakit. Misalnya, pasien yang seharusnya hanya sakit ringan tapi dirawat selama berhari-hari demi menggelembungkan biaya asuransi.
“Fraudnya itu seperti ini, cuma sakit ringan tapi nginap 3 hari. Misalnya juga, sebenarnya hanya perlu operasi usus ringan, tapi karena faktor lain dijadikan operasi usus berat,” tutur Agus Pambagio.
Mantan anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini menyebut, pihak asuransi bisa menjadi korban fraud jika tidak membatasi layanan apa yang seharusnya kepada pasien.
“Semakin banyak servis-nya, semakin ada potensi fraud. Penggunaan layanan asuransi yang berlebihan bisa memicu praktik fraud,” katanya.
Di tempat yang sama, praktisi medis dari Yayasan Orangtua Peduli, dokter Windhi Kresnawati menyebut, semua pasien berpotensi menjadi korban fraud dan overtreatment.
Dokter Windhi menjelaskan, fraud dalam layanan medis tidak lepas dari pengaruh industri kesehatan, khususnya industri farmasi.
Dibutuhkan literasi kesehatan terhadap masyarakat agar kasus ini bisa dicegah. Seperti, pengobatan yang rasional dalam bentuk terapi kesehatan.
“Tiga hal yang perlu kita sampaikan ketika berobat. Pertama, kita berhak tahu masalah penyakit kita. Yang kedua, apa yang harus kita lakukan. Kemudian adalah jika penyakit kita menunjukkan gejala darurat, bagaimana yang harus dilakukan,” tutur Windhi.
Windhi menandaskan bahwa korban overtreatment terbanyak menyasar anak-anak. Mereka diresepkan obat yang seharusnya obat generik, namun diberikan obat yang lebih mahal.
“Yang terbaik adalah obat generik. Karena dipakaikan merek, maka jadi mahal. Obat bisa menjadi lebih mahal kalau baru diproduksi. Di sinilah bapak ibu dibutuhkan literasi kesehatan,” tandas Windhi.
BERITA TERKAIT:
- RS Hermina Makassar Luncurkan Code Stroke, Bisa Cegah Pasien Lumpuh
- HUT ke-32 RSUD Haji Makassar: Resmikan 6 Fasilitas Baru, Kini Rujukan Stunting di Sulsel
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok