Revisi UU Penyiaran Ditolak Organisasi Pers di Sulselbar
3 min read
Jurnalis meletakkan kartu pers saat sebagai bentuk protes terhadap gugatan mantan stafsus Gubernur Sulsel kepada perusahaan pers di Pengadilan Negeri Makassar. (Foto: Ilustrasi/Koalisi Advokasi Jurnalis)
Majesty.co.id, Makassar – Sejumlah organisasi Pers di Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) tegas menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang kini dibahas DPR RI.
Revisi UU Penyiaran disebut memuat sejumlah pasal kontroversi untuk membungkam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi serta menyumbat proses berdemokrasi.
Ketua Pengda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Andi Mohammad Sardi, menegaskan revisi UU Penyiaran akan memicu “kekacauan” jika terus dipaksakan oleh DPR RI.
“Lembaga penyiaran akan menjadi wahana legislatif memainkan perannya menekan jurnalis. Menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers,” kata Mohammad Sardi di Makassar, Senin (20/5/2024).
- BACA JUGA: Jurnalis di Makassar gelar Teatrikal, “Lawan” Gugatan Rp700 miliar Eks Stafsus Andi Sudirman
Mohammad Sardi menyebut, ada sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang akan membungkam kebebasan pers.
Di antaranya pasal 50 B ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Begitu pula pasal 50B ayat (2) huruf K, pasal 8A ayat (1) huruf Q, dan Pasal 51 E.
Serta pada pasal 8A ayat (1) huruf Q berbunyi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Namun dalam peraturan Undang-Undang Pers yang berhak menyelesaikan sengketa Pers adalah Dewan Pers.
Sementara itu, Ketua Pengda Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, Sahril, juga menolak revisi RUU penyiaran tersebut.
Dia menegaskan beleid akan memberangus kerja-kerja investigasi pekerja pers dalam menyampaikan laporan kebenaran atas temuan liputannya.
“Liputan investigasi adalah hal penting bagi jurnalis sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah maupun swasta. Sebab, pasca reformasi kehadiran Pers menjadi salah satu pilar demokrasi kita, termasuk memberikan kemerdekaan pers tanpa harus dibredel. Bila RUU itu disahkan sama saja kebenaran dibungkam,” tuturnya menekankan.
Secara terpisah, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar, Sulawesi Barat Rahmat FA, turut menyoroti revisi RUU Penyiaran yang memasukkan pasal-pasal kontroversi yang dapat memberangus kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.
Ada dua pasal tersebut yaitu pasal 50 B ayat (2) poin C yang mengatur pelarangan media menayangkan konten atau siaran ekslusif jurnalisme investigasi dan Pasal 8A point Q yang mengatur tentang sengketa jurnalistik.
Revisi Harus Merujuk UU Pers
Selain itu, AJI Indonesia kata Rahmat, sudah mengingatkan agar DPR seharusnya menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik.
Namum anehnya, pada konsideran draft RUU Penyiaran sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers. Oleh karena itu pihaknya mendesak agar pasal kontroversi itu harus dihapus.
“Sebab tidak ada dasar yang jelas bagi DPR melakukan pelarangan terhadap media menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Selain itu akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara KPI dan Dewan Pers,” paparnya menegaskan.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan liputan investigasi dan ekslusif tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Ada yang toksik terhadap kebebasan pers. Kita belum tahu siapa yang memasukan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers,” katanya.
Upaya merenggut kemerdekaan pers, kata dia, sudah berlangsung sejak 2007. Upaya tersebut terus berlangsung hingga RUU KUHP tahun 2024.
Datanya bahkan telah dikantongi oleh Dewan Pers terkait intervensi terhadap kemerdekaan pers yang terus berlangsung.
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok