Sejumlah Pasal Berbahaya dalam Revisi UU TNI
3 min read
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (kiri) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak dalam rapat dengar pendapat DPR RI tentang revisi UU TNI. (Foto: Instagram/puspentni)
Majesty.co.id – DPR sedang mengebut Revisi Undang-Undang TNI yang menuai penolakan keras dari sejumlah aliansi masyarakat sipil.
Revisi ini disebut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengandung banyak pasal berbahaya untuk kehidupan demokrasi dan negara hukum.
YLBHI dalam siaran persnya pada Minggu (16/3/2025) menjabarkan sejumlah pasal-pasal berbahaya dalam draft revisi UU TNI.
Tidak hanya soal batas usia pensiun tentara, revisi UU TNI ini juga mengatur peran TNI di ranah sipil. Hal itu dinilai menghidupkan praktik dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Berikut ini pasal-pasal berbahaya dalam Revisi UU TNI menurut YLBHI:
1. Perpanjangan Usia Pensiun TNI
Usia pensiun diperpanjang hingga 62 tahun (Pasal 71). Hal ini menurut YLBHI, berpotensi menambah penumpukan perwira non-job yang kemudian ditempatkan di lembaga negara dan BUMN, merusak profesionalisme TNI.
Contohnya, penunjukan perwira aktif sebagai Direktur Utama Bulog melanggar UU TNI No. 34 Tahun 2004.
2. Perluasan Jabatan Sipil bagi Perwira TNI Aktif
Revisi Pasal 47 memungkinkan perwira aktif TNI menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Ini dianggap mengancam supremasi sipil, independensi peradilan, dan membuka peluang impunitas bagi anggota TNI.
3. Keterlibatan TNI dalam Politik Keamanan Negara
TNI diberikan kewenangan mengisi posisi di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Ini membuka jalan bagi TNI untuk mengintervensi politik dalam negeri, yang bertentangan dengan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang netralitas TNI.
Salah satu contoh dari hal ini adalah TNI akan dilibatkan dalam pemberantasan narkoba, menjabat di Kejaksaan dan Mahkamah Agung.
4. Operasi Militer Selain Perang Tanpa Persetujuan DPR
Draft Pasal 7 ayat (4) Revisi UU TNI memungkinkan operasi militer selain perang dilaksanakan hanya melalui Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, tanpa mekanisme pengawasan DPR.
Ini menurut YLBHI melanggar prinsip check and balances dalam sistem demokrasi.
Dampak Revisi UU TNI
Selain itu, revisi UU TNI menurut aliansi masyarakat sipil bakal menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
Mereka menilai, revisi ini membuka ruang impunitas atau kebal hukum bagi anggota TNI yang terlibat pelanggaran HAM.
Tak hanya itu, mereka menilai revisi UU TNI mengancam supremasi sipil dan independensi lembaga peradilan.
YLBHI bersama aliansi mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang bertentangan dengan agenda reformasi.
Revisi tersebut harus melibatkan masyarakat sipil secara bermakna dalam proses revisi. Selain itu, kembalikan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional sesuai amanat konstitusi.
“YLBHI mengajak masyarakat untuk bersuara menolak revisi UU TNI demi menjaga demokrasi dan supremasi hukum,” demikian pernyataan pers YLBHI.
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok