Lembaga Kemahasiswaan: Harapan Terakhir di Tengah Kampus yang Bungkam
2 min read
Pahmuddin. (Foto: Istimewa)
Saat sebuah amanah dipercayakan kepada mahasiswa, maka itu bukan sekadar tanda kepercayaan—melainkan panggilan untuk mengambil peran strategis untuk bangsa.
Lembaga kemahasiswaan sejatinya adalah ruang pengabdian intelektual yang tak hanya mengatur kegiatan seremonial, tetapi juga menyuarakan nurani kampus dalam menghadapi realitas sosial dan kebangsaan.
Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan tidak cukup hanya berstatus sebagai mahasiswa aktif. Lebih dari itu, nalar kritis menjadi syarat utama.
Pengurus, apapun perannya, harus punya kemampuan untuk berpikir tajam, menganalisis persoalan, dan bersuara lantang atas nama kebenaran merupakan modal penting yang harus dimiliki.
Atribut organisasi dan pengalaman hanyalah pelengkap.
Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa saat ini banyak lembaga kemahasiswaan yang kehilangan arah. Ia hidup hanya saat pemilihan dan pelantikan, lalu redup dalam diam.
Seharusnya lembaga kemahasiswaan menjadi pusat perjumpaan gagasan dan ruang tumbuhnya keberanian.
Sayangnya, yang tampak kini justru organisasi yang stagnan, jauh dari fungsi kritisnya.
Dalam situasi kebangsaan yang cenderung mengekang dan ruang akademik yang makin menyempit, lembaga kemahasiswaan harus menjadi corong yang lantang menyuarakan kenyataan.
Ia wajib menghadirkan mimbar akademik yang terbuka bagi setiap suara, bukan hanya bagi fungsionaris terpilih. Suara mahasiswa harus tetap hidup—berani, jujur, dan menyentuh persoalan bangsa.
Lembaga kemahasiswaan juga harus menjadi bagian dari upaya menjaga marwah kampus. Ketika lembaga dan birokrasi kampus bersinergi dengan baik, maka prestasi dan integritas akan berjalan seiring.
Keterbukaan dalam berorganisasi mampu menangkal perilaku culas, sementara budaya dialog akan membentuk atmosfer kampus yang sehat.
Namun, jika sinergitas hanya jadi jargon, yang tumbuh justru adalah prasangka dan konflik yang merusak.
Kampus pun kehilangan fungsinya sebagai benteng terakhir intelektualitas dan kebebasan berpikir.
Lebih parah lagi, bila lembaga kemahasiswaan hanya menjadi perpanjangan kekuasaan, tanpa kemampuan menyaring kebijakan yang menyesatkan.
Sudah saatnya lembaga kemahasiswaan kembali pada khitahnya. Menjadi wadah intelektual, penyambung aspirasi dan penggerak perubahan.
Lembaga kemahasiswaan bukan tempat mencari panggung, tapi ruang menempa integritas menjadi intelektual organik, yang tidak hanya punya kemampuan berpikir tapi memiliki keberpihak ideologis.
Jika peran strategis ini diambil dengan sungguh-sungguh, maka lembaga kemahasiswaan bisa menjadi lokomotif kemajuan peradaban—bukan hanya untuk kampus, tapi juga untuk bangsa.
Penulis: Pahmuddin (mantan Presiden Mahasiswa UIN Alauddin)
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok