02/07/2025

Majesty.co.id

News and Value

Pakar: Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Menggerus Prinsip Demokrasi

2 min read
Prof. Mustari Mustafa, menilai bahwa secara filosofis, perpanjangan masa jabatan menjadikan demokrasi hanya urusan administratif.
Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Prof. Mustari Mustafa. (Foto: Istimewa)

Majesty.co.id, Makassar – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang penyelenggaraan pemilihan umum dinilai berpotensi melemahkan sistem demokrasi.

Salah satu poin penting dalam putusan MK tersebut adalah pemisahan antara penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal.

MK menetapkan bahwa pemilu lokal diselenggarakan paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

Advertisement
Ikuti Saluran WhatsApp Majesty.co.id

Efeknya, masa jabatan anggota legislatif di daerah dapat diperpanjang tanpa melalui pemilu dalam rentang waktu tersebut.

Menanggapi putusan itu, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Prof. Mustari Mustafa, menilai bahwa secara filosofis, kebijakan tersebut berpotensi menggeser esensi demokrasi.

“Jika masa jabatan diperpanjang tanpa pemilu, maka hakikat kekuasaan bergeser dari mandat rakyat menjadi sekadar jabatan administratif, yang secara esensial melemahkan prinsip demokrasi,” ujar Mustarif Mustafa dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).

Mustari menambahkan, dari sisi metodologis, MK seharusnya mempertimbangkan aspek politik dan sosial dalam memutus perkara semacam ini.

“Pelaksanaan putusan (pasca putusan MK) perlu dilakukan secara holistik—tidak hanya berpegang pada teks hukum, tetapi juga memperhatikan konteks sosial-politik dan nilai keadilan konstitusional,” tambah Mustarif.

Menurutnya, keputusan tersebut berpotensi menimbulkan stagnasi dalam proses pengambilan kebijakan publik, karena memperpanjang masa jabatan tanpa proses elektoral yang seharusnya menjadi penanda legitimasi kekuasaan.

“Tanpa metodologi yang menyeluruh, putusan ini rawan dimanfaatkan secara politis untuk menunda siklus demokrasi,” tegas guru besar Filsafat Pendidikan UIN Alauddin Makassar ini.

Lebih lanjut, Mustarif menyarankan agar ada pengaturan hukum lanjutan untuk mengantisipasi kekosongan kepemimpinan dan menjaga keberlanjutan sistem demokrasi.

“Putusan ini menciptakan jarak waktu antara dua jenis pemilu, maka dibutuhkan pengaturan hukum lanjutan melalui undang-undang atau aturan transisi agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan,” pungkasnya.

Sebagai informasi, pemilu nasional mencakup pemilihan presiden, anggota DPR RI, dan DPD. Sementara itu, pemilu lokal mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, serta kepala daerah.

Penulis: Suedi

Bagikan :

Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok

@majesty.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2023 © Majesty.co.id | Newsphere by AF themes.