Agar Tidak Tertipu, Ini Cara Bedakan Konten Video Buatan AI dan Asli
4 min read
Salah satu video yang dibuat menggunakan teknologi AI. Video ini memperlihatkan seorang wanita berjalan di Tokyo saat salju turun, kamera bergerak sinematik. (Foto: Openai/Sora)
Majesty.co.id – Konten video maupun gambar yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin menjamur di media sosial.
Terkadang sulit membedakan, mana konten video buatan AI dan konten yang direkam secara natural dari Handphone atau kamera.
Tidak sedikit pengguna internet atau netizen menganggap video AI adalah murni hasil rekaman video. Khususnya konten tentang hewan dan manusia.
Apalagi, semakin banyak teknologi deepfake atau alat media sintetis seperti Sora dari OpenAI atau Gen-3 Alpha dari Runway, kini mampu meniru ekspresi wajah.
Tidak hanya itu, konten AI juga mampu meniru suara dan gerakan manusia dengan tingkat realisme yang luar biasa.
Menurut laporan Brookings Institution tahun 2024, keberadaan konten buatan AI di dunia maya meningkat empat kali lipat sejak tahun 2021, dengan lebih dari 30 persen video viral melibatkan bentuk media sintetis.
Tren ini menunjukkan pentingnya literasi digital, khususnya kemampuan untuk menganalisis keaslian video secara kritis.
Lalu, bagaimana cara masyarakat umum, jurnalis, dan peneliti membedakan video nyata dengan yang dihasilkan AI?
Para ahli menunjuk pada sejumlah ciri teknis, tanda-tanda perilaku, serta alat forensik terbaru yang bisa membantu proses deteksi ini.
Salah satu tanda paling jelas dari video deepfake adalah gerakan mata atau kedipan yang tidak alami.
“Model AI sering kesulitan meniru perilaku mata manusia secara halus,” jelas Hany Farid, pakar forensik digital dari University of California, Berkeley, dikutip Sabtu (2/8/2025).
“Dalam banyak video buatan AI, Anda bisa melihat kedipan yang terlalu sering, atau justru tidak berkedip sama sekali,” imbuh Hany Farid.
Menurut Hany Farid, pencahayaan yang tidak konsisten antara subjek dan latar belakang, bayangan wajah yang aneh, serta sinkronisasi bibir yang tidak pas juga bisa menjadi indikator konten AI.
Inkonsistensi pada audio atau Suara
Banyak video deepfake masih menggunakan sistem teks-ke-suara (text-to-speech) yang belum mampu menangkap nuansa emosi, variasi nada, atau jeda alami dalam percakapan.
Suara bisa terdengar datar, terlalu halus, atau tidak memiliki suara latar yang umumnya muncul dalam situasi nyata.
Menurut MIT Technology Review yang dikutip, Sabtu (2/8/2025), artefak audio seperti gema atau getaran suara juga sering menjadi tanda bahwa konten tersebut dibuat secara sintetis.
Ciri lain yang sering gagal direplikasi oleh sistem AI adalah bagian wajah dan tangan.
“Bagian tangan dan gigi sering kali menjadi kelemahan model AI,” kata Sam Gregory, Direktur Program di Witness, sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada verifikasi media.
“Kadang jari terlihat menekuk secara tidak wajar atau gigi tampak seperti blok putih kabur, terutama pada versi video beresolusi rendah.”

Salah satu contohnya adalah video deepfake yang menunjukkan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 7 tahun lalu.
Alat untuk Mengecek Deepfake AI
Metode praktis lain adalah dengan melakukan reverse video search (pencarian balik video).
Alat seperti InVID atau Google Reverse Image Search dapat membantu melacak asal video atau mendeteksi apakah cuplikan serupa sudah pernah muncul secara daring sebelumnya.
Jika video yang diklaim sebagai “berita terkini” tidak muncul di arsip berita terpercaya atau basis data gambar, bisa jadi itu adalah konten sintetis.
Analisis metadata juga menjadi teknik andalan para ahli forensik digital.
File video biasanya mengandung metadata seperti waktu perekaman, informasi kamera, dan koordinat GPS.
Jika data ini diubah atau tidak ada sama sekali, itu bisa menjadi petunjuk manipulasi.
Namun karena metadata bisa dihapus atau dipalsukan, metode ini sebaiknya digunakan bersamaan dengan teknik lainnya.
Sebagai respons terhadap kekhawatiran yang meningkat, platform seperti YouTube, TikTok, dan X (dulu dikenal sebagai Twitter) kini mulai menandai konten buatan AI.
Penanda konten buatan AI harus ditampilkan menyusul tekanan regulasi dari pemerintah dan lembaga pengawas.
Namun para ahli memperingatkan bahwa tidak ada metode tunggal yang benar-benar bisa diandalkan.
“Pertahanan terbaik adalah verifikasi berlapis,” ujar Nina Schick, penulis buku Deepfakes: The Coming Infocalypse.
“Menggabungkan alat teknis dengan analisis konteks—seperti siapa yang mengunggah video, apa motivasinya, dan apakah sumber tepercaya lain juga memberitakan hal yang sama—adalah perlindungan paling kuat.”
Meskipun teknologi dapat menipu mata, berpikir kritis tetap menjadi kompas paling andal di era digital ini.
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok