Hapus Presidential Threshold, MK minta Partai Tetap Batasi Jumlah Capres
4 min read
Ilustrasi. Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Suhartoyo memimpin sidang pembacaan putusan. (Foto: Youtube/Official Mahkamah Konstitusi)
Majesty.co.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan ini disampaikan dalam sidang pleno di Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa Mahkamah menilai ketentuan ambang batas presiden tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan aturan tersebut membatasi hak konstitusional pemilih dan mengurangi alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memadai.
Alasan Pembatalan
MK menilai bahwa mempertahankan presidential threshold berpotensi mempersempit pilihan pasangan calon dalam pemilu, yang pada akhirnya dapat memicu polarisasi di masyarakat.
“Jika tidak diantisipasi, hal ini dapat mengancam kebhinekaan Indonesia,” ujar Saldi Isra dikutip dari laman MK.
Lebih lanjut, MK mengkhawatirkan kecenderungan munculnya calon tunggal dalam pemilu, seperti yang telah terjadi pada sejumlah pemilihan kepala daerah.
Mahkamah juga menyebutkan bahwa aturan ini melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
“Dengan membiarkan aturan ini, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan bergeser dari tujuan semula, yaitu memperluas partisipasi rakyat dalam demokrasi,” jelasnya.
Pergeseran Sikap MK
Dalam putusan sebelumnya, MK sempat mendukung presidential threshold. Namun, kali ini, MK menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapa pun angkanya, tidak sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
“Norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tegas Ketua MK Suhartoyo, yang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Jumlah Calon Harus Dibatasi
Meski membatalkan ketentuan tersebut, MK mengingatkan perlunya pengaturan untuk mencegah munculnya terlalu banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sebagai negara dengan sistem presidensial dan model kepartaian majemuk, pembentuk undang-undang diharapkan dapat merancang regulasi agar jumlah pasangan calon tetap proporsional tanpa merusak esensi pemilu langsung.
MK juga menyoroti bahwa meski Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 mengantisipasi kemungkinan pemilu putaran kedua, terlalu banyak pasangan calon tidak selalu berdampak positif bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia.
Putusan ini dipandang sebagai langkah penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperluas partisipasi rakyat dalam pemilu presiden dan wakil presiden.
Pedoman agar Capres Tidak Terlalu Banyak
Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok