Pelecehan Seksual bukan Aib Korban, tapi Dosa Pelaku
3 min read
Penulis: Jeni Arsyad HS, Formatur Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) Cabang Gowa.
Pelecehan seksual selalu saja menjadi perbincangan hangat masyarakat, khususnya organisasi perempuan. Pasalnya, kasus pelecehan seksual kian hari marak terjadi.
Dilansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 28.070 kasus pelecehan seksual dan 80,0 persen korban adalah perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa tiap tahun kasus pelecehan seksual terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Agaknya, salah satu faktor penyebab kian maraknya kasus pelecehan seksual adalah tidak adanya efek jerah yang diberikan kepada pelaku, sehingga tidak ada rasa kapok dan penyesalan dalam diri pelaku setelah melakukan tindakan tak bermoral tersebut pada korban.
Hal ini, menjadikan pelaku semakin menyepelekan tindakan pelecehan seksual.
Tak pandang bulu, tak pandang usia. Segala kalangan, anak-anak, remaja, orang tua, bahkan beberapa diantaranya lansia pun ikut diembatnya.
Motif pelaku kian beragam, lokasinya pun tak lagi pilih-pilih. Rumah, fasilitas umum, bahkan parahnya pelaku pelecehan seksual kini telah merangsek masuk ke ranah pendidikan.
Lalu, dimana lagi tempat yang aman bagi perempuan? Seorang anak dilecehkan oleh ayahnya sendiri, keponakan dilecehkan paman, cucu dilecehkan kakek, murid dilecehkan guru. Lalu siapa lagi pelindung bagi perempuan?
Mirisnya, beberapa korban pelecehan malah disuruh bungkam, diancam, bahkan dipaksa melakukan klarifikasi dan pernyataan sikap.
Lalu sampai kapan kita akan menormalisasikan perilaku biadab pelaku dengan dalih “Khilaf”?
Maafkan saja? Itu belum cukup mengembalikan kondisi korban seperti sediakala.
Pelecehan Seksual bagai kutukan bagi perempuan. Perempuan yang menjadi korban, perempuan pula lah yang disalahkan.
Beberapa korban tidak berbicara karena malu dan tidak merasa aman, sehingga lebih memilih diam dan menganggap nasib buruk yang menimpah dirinya tak pernah terjadi.
Selebihnya adalah mereka (para korban) yang berani meneriakkan keadilan, mengungkap kejahatan pelaku, tapi justru menjadi pihak yang disudutkan, dicaci maki, dipandang kotor dan memalukan.
Dengan tidak memberikan ruang dan kesempatan berbicara bagi para korban, secara tidak langsung kita juga menjadi bagian dari pelaku yang mematikan mimpi para korban.
Lalu, bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat dalam menyikapi kasus pelecehan seksual?
Pulihkan Korban
Melalui tulisan ini, saya akan menawarkan satu langkah solutif yang barangkali bisa menjadi bahan refleksi kita bersama khususnya dalam menyikapi kasus pelecehan seksual.
Sebagai masyarakat, tentunya dukungan dari kita sangat dibutuhkan khususnya bagi para korban pelecehan seksual. Dukungan yang dimaksud tidak hanya berupa dukungan materil tapi juga dukungan moril.
Perlu kita ketahui bahwa, yang paling dibutuhkan oleh para korban adalah support system yang mampu memperbaiki kondisi mental dan psikis korban. Mengembalikan kepercayaan diri, dan rasa aman.
Keadilan bagi para korban pelecehan seksual, tidak cukup hanya dengan memberikan sanksi pada pelaku, akan tetapi bagaimana kondisi korban bisa kembali stabil baik itu kondisi fisik maupun mental.
Karena part paling berat bagi korban bukan pada saat tindakan pelecehan seksual menimpa mereka akan tetapi, part terberat bagi para korban adalah pasca kejadian pelecehan seksual.
Trauma yang dialami oleh para korban tidak akan sembuh begitu saja meskipun pelaku telah diberikan sanksi. Olehnya itu, para korban membutuhkan dukungan moril dan psikis dari kita, masyarakat.
*)Semua isi tulisan dalam Opini ini di luar tanggung jawab redaksi Majesty.co.id
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok