MK Perkuat Kewenangan Bawaslu, Rekomendasi Jadi Putusan Mengikat
3 min read
Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. (Foto: Istimewa)
Majesty.co.id, Makassar – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada harus bersifat putusan yang mengikat, bukan sekadar rekomendasi.
Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib menindaklanjuti putusan tersebut tanpa perlu mendiskusikannya terlebih dahulu.
Penegasan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam sidang di Ruang Pleno MK, Rabu (30/7/2025).
Perkara ini diajukan oleh empat pemohon yakni Yusron Ashalirrohman, Roby Nurdiansyah, Yudi Pratama Putra, dan Muhammad Khairi Muslimin.
Mereka menguji ketentuan Pasal 139 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU 1/2015).
Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.
MK menyatakan bahwa frasa “rekomendasi” dalam Pasal 139 UU 1/2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK memaknai kata “memeriksa dan memutus” menjadi “menindaklanjuti’ dan kata “rekomendasi” menjadi “putusan”.
Kewenangan Bawaslu Harus Sinkron
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengungkapkan bahwa terdapat ketidaksinkronan antara kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pemilu dan Pilkada.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu diberi kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi.
Sementara dalam Pilkada, Bawaslu hanya diberi kewenangan merekomendasikan hasil temuan kepada KPU, yang kemudian memutus sendiri.
“Perbedaan demikian menurut Mahkamah menyebabkan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pemilu menjadi lebih pasti karena putusan Bawaslu mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti,” ujar Ridwan, dikutip dari laman MK, Kamis (31/7/2025).
Sebaliknya, dalam penanganan pelanggaran Pilkada, keputusan akhir masih berada di tangan KPU, menjadikan proses rekomendasi Bawaslu bersifat tidak mengikat.
“Dengan perbedaan tersebut, menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Padahal, desain hukum pemilu menempatkan KPU dan Bawaslu [termasuk DKPP] dalam posisi yang sejajar sebagai penyelenggara pemilu,” lanjut Ridwan.
Mahkamah menilai, jika kewenangan Bawaslu hanya sebatas rekomendasi, maka proses penanganan pelanggaran administrasi hanya menjadi formalitas semata dan kehilangan kekuatan hukum.
“Padahal, dalam rangka mewujudkan pilkada yang berintegritas, diperlukan dasar hukum yang pasti sehingga dapat ditegakkan oleh penyelenggara pemilu, termasuk oleh Bawaslu,” ujar Ridwan.
Dengan putusan ini, rezim hukum antara pemilu dan pilkada kini disamakan.
KPU sebagai penyelenggara pemilu wajib melaksanakan putusan Bawaslu sebagai bagian dari penegakan hukum administratif dalam kontestasi demokrasi.
Mahkamah mengingatkan agar pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR, menyelaraskan semua dasar pengaturan yang berkaitan dengan upaya mewujudkan pemilihan yang baik dan berintegritas serta memperkuat kelembagaan Bawaslu, KPU dan DKPP.
Pembentuk undang-undang perlu segera merevisi undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah.
“Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” urai Ridwan.
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok