17/07/2025

Majesty.co.id

News and Value

Membedah Kepemimpinan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

4 min read
Tulisan ini bertujuan memberikan perspektif kritis terhadap dinamika kebijakan Kemenkes
Foto penulis, dr. Andi Muh. Muslih Rijal. (Istimewa)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) memiliki peran strategis dalam menetapkan arah kebijakan kesehatan nasional.

Namun, sejumlah kebijakan yang diterapkan belakangan ini menuai kritik dari praktisi, akademisi, dan masyarakat karena dinilai tidak berpihak pada penguatan mutu pelayanan kesehatan.

Tulisan ini bertujuan memberikan perspektif kritis terhadap dinamika kebijakan Kemenkes dan implikasinya.

Advertisement
Ikuti Saluran WhatsApp Majesty.co.id

Pada Forum Komunikasi Nasional Tenaga Kesehatan, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan rencana naturalisasi dokter asing.

Meski bertujuan meningkatkan kualitas SDM kesehatan, rencana ini menimbulkan kekhawatiran akan perbedaan budaya, sistem kompetensi, serta potensi tergesernya dokter lokal.

Kritik datang dari Dekan FK Unair, Prof.
Budi Santoso, yang juga Ketua AIPKI. Tak lama kemudian, ia diberhentikan secara mendadak oleh rektor tanpa alasan jelas—menguatkan dugaan adanya intervensi Kemenkes terhadap kebebasan akademik.

Kasus lain terjadi di FK Undip, di mana seorang mahasiswa PPDS meninggal akibat bullying. Sebagai respons, Kemenkes menekan direktur RS untuk menutup program dan memberhentikan dosen pembimbing, Dr. Yan Wisnu Prajoko.

Langkah ini justru merugikan pasien yang tengah menjalani pengobatan dan menunjukkan pola pengambilan keputusan yang reaktif dan berorientasi politik ketimbang pembenahan sistem.

Pada Oktober 2024, saat Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak, Kemenkes mengeluarkan kebijakan yang mengalihkan struktur kolegium dari organisasi profesi ke kementerian.

Ini memicu protes dari IDAI, karena bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2023. Tak lama setelahnya, Ketua Umum IDAI, dr. Piprim B. Yanuarso, dimutasi dari RSCM ke RS Fatmawati tanpa alasan resmi.

Padahal, beliau satu-satunya Konsultan Tumbuh Kembang Anak di institusi tersebut, memperkuat dugaan mutasi sebagai bentuk pembungkaman kritik.

Setelah itu, dr. Rizky Adriansyah yang membela dr. Piprim melalui tulisan publik, turut diberhentikan secara mendadak dari RSUP Adam Malik, lagi-lagi tanpa sanksi disipliner formal.

Hal ini menunjukkan pola pembungkaman terhadap suara kritis melalui mutasi dan pemberhentian sepihak oleh Kemenkes.

Kritik juga disampaikan oleh Prof. Dr. Zainal Muttaqin, Sp.BS, terkait RUU Kesehatan. Ia kemudian diberhentikan oleh Dirut RSUP Dr.

Kariadi, yang secara terbuka menyatakan bahwa Menteri Kesehatan tersinggung atas tulisannya. Ini menandakan bahwa relasi kuasa digunakan secara represif, bahkan terhadap akademisi senior, untuk membatasi kebebasan berpendapat.

Baru-baru ini, Permenkes Nomor 3 Tahun 2025 tentang Penegakan Disiplin Profesi menambah kekhawatiran.

Regulasi ini memberikan wewenang multitafsir kepada Kemenkes untuk menetapkan jenis pelanggaran disiplin, membuka celah untuk dijadikan alat represi terhadap tenaga kesehatan yang kritis.

Salah satu kebijakan kontroversial lainnya adalah pelimpahan wewenang operasi sesar dari dokter spesialis ke dokter umum.

Dengan angka kematian ibu mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup, pelonggaran kompetensi ini justru berisiko memperparah situasi.

Negara lain yang menerapkan kebijakan serupa mencatat peningkatan komplikasi pascaoperasi hingga tiga kali lipat. Solusi lebih bijak adalah pemerataan distribusi dokter spesialis, penguatan telemedicine, serta revitalisasi program dokter keluarga dan sistem rujukan.

Kemenkes juga memperbolehkan PPDS menerima penghasilan selama pendidikan.

Namun, kebijakan ini justru membebani peserta didik karena disertai dengan tuntutan kerja ganda tanpa perlindungan hukum yang memadai, meningkatkan risiko malpraktik dan mengorbankan mutu pelayanan.

Melalui UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024, Kemenkes mengambil kendali penuh atas kolegium. Padahal, kolegium seharusnya independen dalam menetapkan standar keilmuan dan kompetensi.

Dominasi birokrasi terhadap struktur keilmuan justru membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan menurunkan objektivitas profesi kedokteran.

Pernyataan Kemenkes dalam dialog bersama Rosi yang menyebut bahwa kolegium berasal dari ormas adalah narasi menyesatkan.

Faktanya, kolegium dibentuk oleh komunitas profesi melalui organisasi profesi. Klaim pemilihan kolegium lebih demokratis juga terbantahkan, karena pada akhirnya keputusan tetap di tangan Kemenkes, bukan komunitas ilmiah.

Kesimpulan


Reformasi akses kesehatan memang diperlukan, tetapi tidak dengan mengorbankan mutu pendidikan kedokteran. Proses pemilihan kolegium seharusnya independen dari intervensi birokrasi.

Pemerataan layanan kesehatan harus disertai pemerataan tenaga medis dan infrastruktur, bukan melemahkan kompetensi atau membungkam suara kritis.

Keberhasilan sistem kesehatan bergantung pada sinergi antara pemerintah, akademisi, profesi, dan masyarakat—bukan pada dominasi kekuasaan semata.


Penulis: dr. Andi Muh. Muslih Rijal, Ketua Bidang Kesehatan KNPI Kota Makassar dan Wasekjend PB HMI

*) Segala isi yang dimuat dalam opini di luar tanggung jawab redaksi Majesty.co.id

Bagikan :

Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok

@majesty.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2023 © Majesty.co.id | Newsphere by AF themes.