Paradoks “Green Mining” di Luwu Timur: Ilusi Penghargaan Lingkungan
2 min read
Ilustrasi artikel Paradoks Green Mining. (Foto: DALL-E AI ChatGPT/Majesty.co.id)
Insiden kebocoran pipa minyak High Sulphur Fuel Oil (HSFO) milik PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menegaskan paradoks besar dalam industri pertambangan;
“Bagaimana mungkin perusahaan yang telah mengantongi ISO 14001, meraih “Proper Hijau” dan bahkan baru-baru ini dianugerahi Proper Emas, masih mengakibatkan jejak pencemaran di lahan pertanian masyarakat ?”
Pertanyaan ini mengusik logika kritis, apakah penghargaan lingkungan di negeri ini sungguh mencerminkan akuntabilitas atau sekadar simbol greenwashing untuk menjaga citra korporasi.
Secara akademis, dari kejadian ini maka saya melihat adanya kesenjangan serius antara standar formal dengan realitas lapangan.
ISO maupun proper pada dasarnya menekankan kepatuhan administratif dan evaluasi indikator teknis.
ISO 14001 (Standart Internasional Manajemen Lingkungan) seyogyanya memuat Identifikasi resiko, Pencegahan Pencemaran, Kesiapsiagaan Darurat, Kepatuhan Regulasi dan Perbaikan Keberlanjutan.
Nah, proper Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) Indonesia sendiri menilai hal ini juga, termasud di dalamnya ialah “Pencegahan Pencemaran”.
Tentu dengan adanya Sistem ISO 14001 dan dibenarkan dengan penilaian “proper” emas oleh KLHK kejadian “Kebocoran Pipa HFSO” yang merusak lahan pertanian masyarakat menjadikan kedua hal itu di pertanyakan.
Keduanya masih lemah dalam menempatkan verifikasi independen.
Akibatnya, penghargaan lingkungan berisiko direduksi menjadi legitimasi reputasi, bukan jaminan keberlanjutan.
Kasus di Towuti ini juga menyinggung dimensi etis global.
Nikel yang selama ini digadang sebagai komoditas strategis untuk transisi energi dunia bisa terjebak pada stigma “Black Nickel”, sebagaimana berlian di Afrika pernah dilabeli “Blood Diamond” karena jejak penderitaan sosial yang ditinggalkannya.
Jika pada kasus ini penderitaan lokal dan kerusakan ekologis diabaikan, maka kredibilitas sebagai pemasok nikel dengan predikat “Green Mining dan Sustainable Mining” justru bisa tercoreng di mata internasional.
Saya memandang perlu adanya tata kelola baru yang lebih progresif dan pemantauan independen yang melibatkan lembaga akademik.
Tanpa itu semua, penghargaan semacam Proper atau sertifikasi ISO tidak lebih dari seremoni politik-ekonomi—jauh dari esensi keberlanjutan yang sejati.
Penulis: Ittong Sulle, ST., MT. – Dosen Teknik Pertambangan Universitas Andi Djemma (Unanda).
*) Semua isi opini ini di luar tanggung jawab redaksi Majesty.co.id