Koalisi #BersihkanIndonesia Soroti Revisi Perpres 112 dan Manuver RI di COP30
3 min read
Aksi protes PLTU Batu Bara yang digelar koalisi masyarakat sipil. (Foto: Istimewa)
Majesty.co.id, Jakarta – Koalisi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menilai kehadiran delegasi Indonesia di COP30 Brasil akhir pekan lalu tak membawa hasil berarti.
Saat bersamaan, pemerintah justru tengah menyiapkan revisi Perpres 112/2022 yang dinilai membuka kembali ruang bagi pembangunan PLTU batu bara.
Koalisi menyebut revisi Perpres 11/2022 bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi.
Menurut koalisi, draf revisi memberi sejumlah pengecualian untuk pembangunan PLTU baru dengan alasan keandalan sistem, kebutuhan industri tertentu, kemandirian energi, hingga kebutuhan mendesak pemerintah.
Celah ini dinilai dapat dimanfaatkan untuk pembangunan PLTU captive di kawasan industri.
Sementara itu, banyaknya sponsor korporasi ekstraktif di Paviliun Indonesia pada COP30 juga dianggap mencerminkan lemahnya misi penyelamatan iklim pemerintah.
“Revisi Perpres 112/2022 justru melemahkan komitmen iklim Indonesia,” kata Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik dalam siaran pers, Minggu (23/11/2025).
“Di satu sisi pemerintah terus menyuarakan ambisi iklim di forum internasional, namun di sisi lain membuka ruang baru bagi pembangunan PLTU yang jelas mendorong emisi,” jelasnya.
Iqbal juga menyoroti perluasan co-firing biomassa dan biofuel dalam revisi yang dinilai berisiko memicu pembukaan hutan.
“Lebih buruk lagi, revisi ini membuka peluang perluasan co-firing biomassa dan biofuel yang berisiko memicu pembukaan hutan dan permintaan lahan baru. Ini langkah mundur di tengah krisis iklim yang kian genting,” ujarnya.
Koalisi menilai langkah pemerintah semakin menjauhkan Indonesia dari target transisi energi.
Belum lagi soal revisi UU Minerba hingga PP Kebijakan Energi Nasional dinilai menurunkan ambisi energi terbarukan menjadi hanya 19–23 persen pada 2030.
Regulasi Energi Dinilai Tak Konsisten
Senior Strategist ICEL, Grita Anindarini, menilai lambatnya pengesahan RUU Energi Terbarukan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum untuk mendorong peralihan energi.
“Bahkan RUU tersebut juga masih bernuansa energi fosil dalam bentuk insentif kepada energi baru. Padahal kunci transisi energi dapat berjalan cepat adalah komitmen kuat serta kepastian hukum,” kata Gita.
Koalisi juga menyebut ketidaksesuaian antara komitmen internasional Indonesia—seperti di forum G20 dan Majelis Umum PBB—dengan praktik kebijakan di dalam negeri sebagai pola yang berlanjut dari pemerintahan sebelumnya.
Mereka menilai hal itu menempatkan keselamatan masyarakat pada risiko yang semakin sulit dipulihkan.
Laporan terbaru “Toxic20, Daftar PLTU Paling Berbahaya di Indonesia” memperkirakan potensi 156 ribu kematian dini jika pemensiunan PLTU tidak segera dilakukan.
Polusi udara dari PLTU juga disebut berpotensi memicu kerugian ekonomi dan penurunan serapan tenaga kerja di sektor agraris.
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menilai revisi Perpres 112/2022 memperkuat risiko krisis iklim.
Ia menyebut rencana revisi memberi jalan bagi pembangunan PLTU baru, menunda pemensiunan, serta menghadirkan solusi palsu seperti co-firing biomassa.
“Pemerintah harusnya memperkuat langkah untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan, bukan terus menunda-nunda hanya untuk kepentingan oligark fosil,” katanya.
Di sisi lain, sejumlah lembaga masyarakat sipil di Sulawesi, termasuk WALHI Sulsel, telah melayangkan gugatan atas Perpres 112/2022.
Gugatan itu meminta penghapusan pasal pengecualian PLTU untuk kebutuhan industri (captive).
“Tentu saja, kita berharap Perpres 112 tahun 2022 benar-benar menjadi aturan yang mempercepat terjadinya transisi energi tanpa memberi pengecualian terhadap sektor industri untuk membangun PLTU terutama hilirisasi industri nikel,” kata Muhammad Al Amin, Dinamisator Sulawesi Tanpa Polusi.
Namun pemerintah tetap melanjutkan penyusunan revisi.
“Ini sangat jelas terlihat dari isi perubahan perpres 112 tahun 2022 dimana pemerintah berencana menghapus batas waktu pendirian PLTU yang terintegrasi dengan industri,” ujarnya.
Ia juga menyoroti absennya sanksi bagi pihak yang melanggar aturan dalam draf revisi, yang dinilai semakin melemahkan upaya percepatan energi terbarukan.
