Klarifikasi Kontraktor, Terkait Dituding Penipuan Proyek Gedung Kejari Makassar
5 min read
Gedung Kejari Makassar yang terletak di Jalan Amanagappa, Makassar
Majesty.co.id, Makassar – Kontraktor gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar, Arham Rahim buka suara terkait dugaan penipuan milyaran rupiah dalam proyek pembangunan gedung Kejari Makassar, Sulsel.
Gedung Kejari Makassar yang terletak di Jalan Amanagappa, Makassar, Sulsel ini dikerjakan dengan anggaran awal sebesar Rp33 miliar pada tahun 2020-2021.
“Saya hanya mau mengklarifikasi bahwa saya adalah kontraktor pembangunan kantor Kejaksaan Negeri Makassar dengan anggaran Rp33 miliar pada saat itu,” kata Arham saat dikonfirmasi awak media, Jumat (21/6/2024).
Dia menjelaskan terdapat sejumlah kendala muncul pada tahap perencanaan proyek, terdapat ketidakseimbangan antara Rencana Anggaran Biaya (RAB) dengan gambar perencanaan.
“Dalam perjalanan pembangunan ini ada kendala di perencana, mulai dari situ sudah tidak seimbang RAB dengan gambar. Contoh, digambar itu anggarannya untuk pemancangan hanya 50 titik, ternyata di gambar 62 titik, berarti 12 titik tidak ada anggarannya,” jelasnya.
Meski menghadapi berbagai masalah, Arham tetap melanjutkan proyek atas arahan Kepala Dinas PU dan pihak Kejaksaan.
Dia menambahkan bahwa selama pembangunan terjadi perubahan gambar dan kekurangan material yang menyebabkan pengeluaran melebihi anggaran awal, mencapai Rp42 miliar.
“Saya mau berhenti, cuma ada arahan dari Kepala Dinas PU dan Kejaksaan bilang kerja aja, pasti dibayar jadi oke saya kerja. Gambar ada yang dirubah, ada kekurangan ACP, pengeluaran saya sampai selesai itu ada Rp42 miliar dan anggarannya hanya 33 miliar,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan proyek, Arham terpaksa meminjam uang dan menghadapi masalah dalam pengembalian pinjaman.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ia meminjam uang dari seorang teman berinisial J sebesar Rp300 juta dengan bunga 10 persen.
“Pada saat saya mau minjam ke pelapor ini awalnya saya gadaikan mobil dua, saya minjem Rp300 juta, nanti kembali Rp350 juta, pokoknya bunganya 10 persen,” ungkapnya.
Ketika proyek belum selesai pada Desember, Arham mendapatkan tambahan pinjaman sebesar Rp1,1 miliar dengan bunga 10 persen.
Ia mengaku, pengeluaran yang melebihi anggaran menyebabkan dirinya mengalami kerugian finansial yang signifikan.
“Saya di adendum sampai April, makanya ada media yang sorot kenapa kontraktornya tidak didenda, karena memang ini bukan kesalahan saya, kesalahannya Konsultan, kesalahannya PU,” lanjutnya.
Arham juga menjelaskan tentang pemotongan tagihan yang diterimanya, setelah proyek pembangunan gedung selesai.
“Tagihan saya saat itu 11 miliar, tapi karena menyeberang tahun dan saya tidak mau komplain, pada saat mau pencairan saya di denda, dipotong Rp800 juta, padahal bukan kesalahan saya. Saya terima itu Rp8 miliar, utang saya diluar, material dan lain-lain kurang lebih 12 Miliar, berarti mines,” jelasnya.
Arham merasa dirinya menjadi korban penipuan dan menuduh adanya rekayasa dalam proses hukum yang menjadikannya tersangka.
“Saya mau cari keadilan. Ini belum Inkracht, belum selesai, saya kasasi. Sampai detik ini dia minta damai tapi saya bilang apanya mau damai, saya sudah dipenjara. Bukan saya yang menipu, malahan saya yang ditipu. Seharusnya ada keuntungan malah rugi,” jelasnya.
“Saya tidak terima uang itu bukan dari Nursafri, tapi dari J. Uang saya terima Rp1,1 miliar sama bunganya. Dia sendiri yang tulis itu (Kwitansi),” terangnya.
Ia juga mengeluhkan perlakuan yang diterimanya dari aparat penegak hukum dan menyatakan bahwa keluarganya telah melapor ke Mabes Polri atas kejadian ini.
“Keluarga saya tidak terima jadi lapor di Mabes, sekarang di tangani di Propam sini (Polda Sulsel),” jelasnya.
Arham berharap mendapatkan keadilan dan menegaskan bahwa dirinya sebenarnya adalah pihak yang dirugikan.
“Kalau pekerjaan selesai, saya hancur keluarga, pekerjaan, rugi lagi. Waktu di pengadilan memang saya mau dikasih malu. Masa dari penyidik Polda terima anak dan istri yang memberatkan saya. Tidak boleh satu keluarga jadi saksi dalam kasus ini,” pungkasnya.
Selain itu, lanjut Arham, ia baru mengetahui bahwasanya telah ditetapkan sebagai DPO setelah ditangkap.
“Saya tidak merasa kalau saya melarikan diri, baru saya tau kalau saya DPO pas di tangkap. Dia sama anaknya baku atur untuk jadikan saya DPO, dia tidak bawa surat DPO,” sebutnya.
“Penyidik dipanggil ke Propam, dia bilang tidak pernah menyuruh dan mengasih surat (DPO). Masa dari penyidik Polda terima anak dan istri yang memberatkan saya. Tidak boleh anak dan istri jadi saksi dalam kasus ini,” tuturnya.
Diberitakan sebeluknya, status terdakwa kasus penipuan dan penggelapan bernama Arham Rahim hingga kini belum jelas.
Pria yang berprofesi sebagai kontraktor itu hingga saat ini belum ditahan meski sudah divonis selama 3 tahun oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar.
Diduga terdakwa tidak ditahan lantaran melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar.
Sementara itu korban penipuan dan penggelapan, Nur Safri Rachman mengaku kecewa karena hingga saat ini status pelaku (terdakwa) tidak jelas. Pada hal sudah ada putusan dari Kejaksaan Negeri Makassar.
“Dalam hal ini saya berharap Kejaksaan untuk segera menindaklanjuti untuk menahan orang ini karena pada saat penyidikan di Polda dia tidak
kooperatif dan masuk menjadi DPO,” kata Nur Safri Rachman, Kamis (13/6/2024).
Nur Safri mendengar kabar bahwa terdakwa Arhan Rahim tidak ditahan lantaran melakukan banding ke Pengadilan Tinggi.
“Harusnya Kejaksaan bisa menahan karena ini terdakwa kadang tidak kooperatif. Pernah kami dipanggil oleh jaksa tapi dia (Arham Rahim) tidak pernah datang,” terangnya.
Penulis : Devan
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok