Seruan IPMIL: Jangan Biarkan Tambang-Semelter di Luwu Raya Jadi Sejarah Penderitaan
4 min read
Ilustrasi aktivitas pertambangan. (Foto: Pexels)
Majesty.co.id, Makassar – Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya (PB IPMIL Raya) menyerukan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas industri pertambangan dan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di wilayah Luwu Raya, Sulawesi Selatan.
Seruan ini disampaikan oleh Formateur Ketua PB IPMIL Raya, Abdul Hafid Ansar Mustaring, sebagai bentuk tanggung jawab moral atas dampak sosial dan ekologis yang semakin dirasakan oleh masyarakat di daerah asal mereka.
PB IPMIL Raya menyoroti sejumlah industri ekstraktif yang berkembang pesat di wilayah Luwu Raya.
Abdul Hafid menyebut aktivitas tambang emas oleh PT Masmindo Dwi Area (MDA) di Kabupaten Luwu, pembangunan smelter nikel oleh PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) di Kecamatan Bua.
Kemudian ada ekspansi operasi PT Vale Indonesia di Kabupaten Luwu Timur, serta rencana pertambangan oleh PT Kalla Arebamma di wilayah Luwu Utara.
“Kami tidak dalam posisi menolak investasi. Namun, kami mendorong agar setiap pembangunan di wilayah Tana Luwu dilandasi oleh prinsip keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat adat,” kata Abdul Hafid dalam keterangan tertulis, Kamis (17/7/2025).
“Tanpa pengawasan ketat dan pendekatan yang bijaksana, dampak negatifnya dapat sangat luas dan serius,” ujar Hafid.
PB IPMIL Raya mencermati berbagai kejadian yang menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam pelaksanaan proyek-proyek industri tersebut.
Salah satu peristiwa yang menimbulkan keprihatinan adalah bencana longsor di Desa Rante Balla, Kabupaten Luwu, yang terjadi pada awal 2025 dan menelan korban jiwa.
Bencana ini diduga berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur jalan tambang yang belum disertai kajian lingkungan secara menyeluruh atau AMDAL.
Pembangunan smelter nikel oleh PT BMS juga mendapat penolakan dari sebagian warga, khususnya para petani di Desa Karang-karangan yang merasa kehilangan lahan produktif tanpa proses dialog yang terbuka.
Masyarakat juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap pencemaran udara akibat proses peleburan nikel yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.
“Kami mendengar langsung suara masyarakat yang khawatir kehilangan ruang hidupnya. Jangan sampai kehadiran industri tambang dan smelter justru mengorbankan sawah, sungai, dan hutan yang menjadi sumber kehidupan pokok masyarakat selama ini,” tambah Hafid.
Tambang di Rampi Mengancam Malangke
Kekhawatiran serupa juga muncul di wilayah pesisir Malangke, Luwu Utara.
Masyarakat cemas atas rencana eksploitasi tambang oleh PT Kalla Arebamma di kawasan Rampi, terutama karena sebagian besar lahan di Malangke masih kerap terendam banjir.
Pengalihan fungsi lahan resapan menjadi kawasan pertambangan dikhawatirkan akan memperparah aliran air dari hulu ke hilir, meningkatkan risiko bencana dan mengancam ruang hidup warga.
Melihat kompleksitas persoalan ini, PB IPMIL Raya mendesak agar pemerintah, baik daerah, provinsi, maupun pusat, hadir secara aktif dan proporsional sebagai penengah antara kepentingan pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Menurut PB IPMIL Raya, proses perizinan, penyusunan dan pelaksanaan dokumen AMDAL, hingga pembebasan lahan harus dilakukan secara transparan.
PB IPMIL Raya juga menekankan pentingnya dialog yang terbuka, setara dan konstruktif antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil.
Keterlibatan masyarakat adat, petani lokal, dan generasi muda mutlak diperlukan agar proses pembangunan tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga partisipatif dan inklusif.
Sebagai representasi kolektif mahasiswa Luwu Raya dari berbagai daerah di Indonesia, PB IPMIL menyampaikan seruan untuk mengevaluasi dan meninjau ulang perizinan proyek-proyek industri yang telah menimbulkan dampak nyata.
Mereka juga menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan.
Selain itu, PB IPMIL Raya mendorong aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap pelanggaran terhadap hukum lingkungan, hak asasi manusia, dan prosedur administratif.
Di sisi lain, PB IPMIL Raya menuntut realisasi kompensasi yang adil kepada masyarakat terdampak, termasuk pemulihan lingkungan.
Mereka juga meminta pemberdayaan ekonomi warga sekitar sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.
Mereka juga menolak proyek-proyek industri yang rawan memicu konflik sosial maupun ekologis, terutama proyek yang tidak mendapat persetujuan warga atau yang memiliki riwayat konflik.
“Kami berharap sejarah pembangunan di Tana Luwu tidak menjadi narasi tentang eksploitasi yang menyisakan penderitaan, melainkan kisah kolaborasi yang melahirkan kesejahteraan bersama. Mahasiswa akan terus hadir sebagai pengingat, pengawal, dan penyambung suara masyarakat,” tegas Hafid.
Hafid menegaskan bahwa sikap kritis mahasiswa bukanlah bentuk penolakan terhadap kemajuan.
Sikap itu sebagai ajakan untuk menata ulang paradigma pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kehidupan masyarakat hari ini dan generasi yang akan datang.
Temukan konten menarik lainnya, follow Tiktok