09/12/2025

Majesty.co.id

News and Value

Polas-poles Citra Pelaku Kasus Korupsi

3 min read
Opini oleh Muh. Ikbal, Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.
Muh. Ikbal, Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM. (Foto: Istimewa/Majesty.co.id)

Hari Antikorupsi Sedunia tidak hanya menjadi peluang memperkuat komitmen pemberantasan korupsi, tetapi juga kesempatan untuk menelaah bagaimana wacana publik tentang korupsi dibentuk—atau justru dibelokkan—oleh bahasa media.

Dalam kacamata Analisis Wacana Kritis, pilihan kata, struktur berita, hingga cara media membingkai figur koruptor bukan sekadar estetika bahasa, melainkan praktik sosial yang memengaruhi persepsi publik.

Advertisement

Iklan Dinas PTSP Makassar

Di Indonesia, pemberitaan kasus korupsi sering menampilkan pola-pola pelunakan melalui eufemisme seperti “tersandung kasus,” “diduga menerima hadiah,” atau “kesalahan prosedural.”

Diksi semacam ini menggeser bobot moral tindakan koruptif menjadi seolah-olah hanya masalah teknis birokrasi.

Advertisement
Ikuti Saluran WhatsApp Majesty.co.id

Beberapa media juga menonjolkan sisi personal pelaku—misalnya sebagai “tokoh dermawan” atau “figur keluarga yang baik”—yang menghasilkan paradoks: fokus beralih dari kejahatannya ke narasi kemanusiaannya.

Dalam terminologi Fairclough, praktik ini merupakan bentuk recontextualization yang mengatur ulang hubungan antara teks dan realitas agar selaras dengan kepentingan tertentu, termasuk kepentingan elite.

Dampak yang paling mengkhawatirkan bukan sekadar pada citra individu koruptor, melainkan pada konstruksi kesadaran publik. Ketika bahasa media memoles koruptor, terjadi normalisasi terhadap kejahatan yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Publik perlahan kehilangan sensitivitas moral: korupsi tidak lagi dipahami sebagai kejahatan luar biasa yang merampas hak-hak sosial, melainkan peristiwa rutin yang tak menimbulkan kejutan.

Ini adalah bentuk moral desensitization yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.

Dampak lainnya adalah erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ketika pemberitaan lebih banyak menggambarkan koruptor sebagai “korban keadaan” dibandingkan sebagai pelaku perampasan hak publik, masyarakat menerima pesan tersirat bahwa sistem hukum tidak berjalan berlandaskan keadilan, melainkan kompromi.

Hilangnya kepercayaan ini berimbas pada rendahnya partisipasi publik, meningkatnya apatisme politik, dan menguatnya sikap skeptis terhadap setiap kebijakan pemerintah.

Di level sosial-ekonomi, korupsi yang direduksi wacananya oleh media membuat masyarakat abai pada kerugian riil yang mereka tanggung.

Jalan rusak, sekolah ambruk, layanan kesehatan minim, dana sosial bocor—semua itu adalah wajah konkret dari korupsi. Ketika media gagal menegaskan relasi kejahatan korupsi dengan kesengsaraan publik, maka ruang edukasi sosial ikut tergerus.

Masyarakat tidak lagi menghubungkan penderitaan sehari-hari dengan praktik korupsi, dan karena itu tidak merasa berkepentingan untuk melawannya.

Dalam jangka panjang, pemolesan citra koruptor menghasilkan public confusion: masyarakat kesulitan membedakan mana tokoh publik yang layak dipercaya dan mana yang berperilaku menyimpang.

Kekacauan persepsi ini berimplikasi pada rendahnya kualitas demokrasi karena keputusan politik masyarakat tidak lagi didasarkan pada integritas, tetapi pada wacana yang telah dimanipulasi.

Hari Antikorupsi Sedunia harus menjadi momen refleksi bagi media: apakah pemberitaan yang disiarkan sedang memperkuat integritas publik atau justru memperhalus wajah kejahatan? Media memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam menjaga keberpihakan terhadap publik, bukan terhadap elite yang terjerat kasus.

Beberapa langkah penting perlu diperkuat. Pertama, penggunaan bahasa yang tegas dan akurat dalam melaporkan korupsi harus menjadi standar etis.

Kedua, narasi tentang dampak sosial korupsi wajib mendapat porsi sebesar pemberitaan tentang pelaku. Ketiga, jurnalisme investigasi harus kembali menjadi ujung tombak kontrol kekuasaan.

Keempat, literasi kritis masyarakat perlu diperkuat agar publik mampu membaca bias dan strategi pemolesan citra di balik teks media.

Korupsi bukan hanya kejahatan finansial; ia adalah kejahatan terhadap masa depan. Ketika bahasa media gagal menyeret koruptor ke ruang moral yang seharusnya, maka masyarakatlah yang akan menanggung akibatnya.

Pada akhirnya, perang melawan korupsi tidak hanya berlangsung di pengadilan, tetapi juga di ruang wacana—melalui keberanian menyebut kejahatan apa adanya dan menolak setiap upaya pemolesan yang mereduksi penderitaan publik.

Penulis: Muh. Ikbal (Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM)


*) Semua isi opini ini di luar tanggung jawab redaksi Majesty.co.id

Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2023 © Majesty.co.id | Newsphere by AF themes.