Pemkot Makassar Siapkan Perda Cegah Kasus HIV/AIDS
3 min read
Ilustrasi Balai Kota Makassar. (Foto: Majesty.co.id/Arya)
Majesty.co.id, Makassar — Pemerintah Kota Makassar memperkuat langkah penanggulangan HIV/AIDS dengan menggandeng Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) melalui mekanisme kontrak sosial (social contracting) berbasis Swakelola Tipe III.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya memperkuat kolaborasi formal antara pemerintah dan lembaga masyarakat dalam menangani kasus HIV/AIDS secara berkelanjutan.
Komitmen tersebut mengemuka dalam pertemuan antara Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, dan jajaran Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sulsel, di Balai Kota Makassar, Senin (3/11/2025).
Pemerintah Kota Makassar memastikan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) HIV/AIDS berjalan efektif, sekaligus menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) baru yang mengatur lebih luas aspek penanganan HIV, perilaku berisiko, serta isu sosial terkait.
“Dengan berbagai dinamika terjadi, saya pastikan Perda HIV/AIDS akan jalan dan menjadi peraturan daerah di Kota Makassar,”
kata Munafri di Balai Kota Makassar.
Munafri atau Appi menegaskan, regulasi ini menjadi payung hukum bagi pemerintah dan Dinas Kesehatan untuk bekerja maksimal.
Ranperda tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2026 sebagai bagian dari upaya memperkuat kebijakan daerah dalam menekan angka kasus HIV di Makassar.
“Kami selalu upayakan agar penyelesaian persoalan HIV ini menjadi kerja bersama. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan penerima manfaat program harus saling berkoordinasi. Ini yang kami mohonkan untuk terus mendapat dukungan,” tegasnya.
Appi mengungkapkan bahwa penanganan HIV/AIDS membutuhkan pendekatan lintas sektor — tidak hanya teknis, tetapi juga dalam hal kebijakan dan penganggaran.
“Ini memang menjadi konsen pemerintah karena angkanya semakin tinggi. Dibutuhkan kerja lintas sektoral di internal pemerintah agar persoalan ini bisa benar-benar diatasi,”
jelasnya.
Appi juga menyoroti tantangan sosial di lapangan, termasuk kecenderungan sebagian pengidap HIV yang enggan terbuka terkait status kesehatannya.
“Persoalan HIV bisa menjadi lebih fatal karena banyak yang sudah tidak mau mengaku. Baru ketahuan setelah ada operasi atau tindakan. Ini yang butuh sosialisasi masif,” tuturnya.
Ia menambahkan, regulasi baru nantinya akan mencakup pengaturan lebih komprehensif, termasuk upaya pencegahan terhadap perilaku berisiko.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah kasus HIV menunjukkan tren penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2023 tercatat 1.015 kasus, turun menjadi 925 kasus pada 2024, dan kembali menurun menjadi 454 kasus hingga pertengahan 2025.
Appi menegaskan pentingnya optimalisasi anggaran antarperangkat daerah agar program penanganan HIV dapat berjalan maksimal.
“Kami akan memaksimalkan koordinasi internal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada,”ujarnya.
PKBI Dorong Mekanisme Kontrak Sosial
Sementara itu, Direktur PKBI Sulsel, Andi Iskandar Harun, menjelaskan bahwa penerapan mekanisme kontrak sosial melalui Swakelola Tipe III menjadi solusi konkret untuk menjamin keberlanjutan program HIV/AIDS, terutama di tengah menurunnya dukungan pendanaan internasional.
“Peran OMS seperti LSM dan CBO sangat penting dalam menjangkau populasi kunci yang paling berisiko — seperti pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), waria, dan pengguna narkoba suntik,” ujar Iskandar.
Menurutnya, dengan berkurangnya bantuan dari donor global, pemerintah daerah perlu menerapkan sistem pendanaan domestik yang berkelanjutan.
Mekanisme Swakelola Tipe III sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 memungkinkan pemerintah bekerja sama langsung dengan OMS berkompetensi di lapangan.
“OMS tidak lagi hanya penerima hibah, tapi menjadi mitra pelaksana resmi pemerintah dengan sistem pelaporan dan akuntabilitas yang jelas,” terangnya. (Ril/Adv)
